Wednesday 28 November 2012

Pendakian Gunung Lawu

Pendakian Gunung Lawu
1 Muharram 1431 H
26-27 Nov 2011



Meskipun tidak menginjakan kaki pada puncak Gunung lawu, tapi kami sangat bahagiaa sekali masih bisa menikmati kebesaran dan keindahan ciptaanMU ya Rabb..
;)

UGM, 28 Nov 2012

Pendakian Gunung Merapi

Pendakian Gunung Merapi
Dalam Rangka Memperingati hari Kemerdekaan RI yang ke-69 dan Nuzulul Qur'an
bersama KIPAS (Komuniatas petualang Sragen)
16-17 Agustus 2011
16-17 Ramadhan 1430 H






Alhamdulillah, makasih ya rabb..
KekuasaanMU benar-benar Indah dan mempesona, semoga kami selalu dapat menikmati setiap keindahan, keajaiban, dan kebesaranMU..
amiin

UGM, 28 Nov 2012

Pendakian Gunung Lawu

Pendakian Gunung Lawu
bersama SAntri Wahid Hasyim Pecinta Alam
9-10 Juli 2011


Alhamdulillah, Alangkah Indahnya KebesaranMU ya rabb, yang semakin menguatkan kebesaran kami..
UGM, 28 Nov 2012

Tuesday 27 November 2012

Pendakian Gunung Sumbing

Pendakian Gunung Sumbing
20-22 Mei 2011

UMM Magelang










Alhamdulillah, Trimakasih Ya Rabb atas segala nikmat dan karuniaMU, semoga kami dapat menjadi hamba-hamba yang bersyukur
Amiin

UIN Suka, 27 Nov 2012

Pendakian Gunung Lawu


Pendakian Gn Lawu
“Indahnya mauled nabi di Gunung lawu”
15 Februari 2011

Setelah mendaki Gn merbabu pada 1 jan 2011, aku manjadi semakin rindu untuk menapakan kakiku ke puncak gunung-gunung yang lainya. Gunung lawu adalah gunung tertinggi ke-3 se jawa tengah, gunung yang manjadi batas wilayah jawa tengah dan jawa timur, selain itu gunung  lawu adalah gunung yang paling dekat dengan rumahku, dengan perjalanan sekitar 1 jam, sudah sampai ke basecam pendakian.
Di gunung lawu ada dua jalur pendakian resmi, jalur cemoro kandang (kab. karanganyar, jawa tengah) dan cemoro sewu (kab. magetan, jawa timur). Pendakian kali ini pun sebernarnyaa tidak terlalu terencana. Awalnya aku ingin sekali muncak ke gunung Lawu, tapi teman-teman tidak pada bias, alahamdulillah, masih ada satu temanku yang bias, yaitu fahrudin ali.
Untuk waktunya, kami juga kesulitan, ternyata tepat pada waktu yang kami rencanakan, yaitu tanggal 14 februari 2011 adalah malam 100 hari ibu teman kami, yaitu eko sujianto, yang waktu pendakian ke gunung merbabu kemarin juga ikut. Setelah berbincang-bincang dengan ali, akhirnya kami sepakat berangkat setelah menghadiri acara tahlilan di rumah eko.

Sragen, 14 feb 2011 pukul 22.30 WIB
Setelah pulang dari rumah eko, aku dan ali ke rumahku, di sebuah gubug di PP. Walisongo Sragen. Meskipun aku membawa tas keril, tapi aku hanya mengemasi barang-barang yang seperlunya saja, mengingat ali sudah berkali-kali muncak ke gunung lawu, jadi aku tidak khawatir tersesat atau bingung, target pendakian kami pun juga singkat, besok malam sudah sampai rumah lagi.
23.30 wib
Malam itu udara sangat cerah, angin juga tampar segar, tidak terlalu dingin, dalam hati pun kami yakin bahwa iklim akan cerah dan tidak akan hujan. Kami bersepeda motor berdua, santai dan tidak terlalu buru-buru. Tetapi menjelang memasuki wilayah batu jamus, tiba-tiba gemericik air mengenai helm kami, kami sedikit panic, dan selang beberapa waktu kemudian, bresssss… hujan turun dengan derasnya, kami pun terpaksa menepi ke sebuah emper took yang sempit. Besarnya hembusan angin memaksa kami untuk berbasah-basah ria, apalagi kami tidak membawa jas hujan, hadeh, bener-bener mengenaskan nasib kami. kami pun akhirnya Cuma bias duduk termenung, menanti hujan reda sembari membentengi diri dari hujan dengan menggunakan motor dan tas keril.
Setellah hujan agak reda kami pun melanjutkan perjalanan kami. Meskipun malam masih menjatuhkan grimisnya, hawa dingin juga semakin memasuki pori-pori kuliat kami, kami melajukan motorkami, penuh semangat, seakan ingin menriakan kepada dunia, kami adalah seorang petualang sejati. Kami tersenyum, seakan ingat film kartun ninja hatori yang memiliki soundtrack “lewati gunung, arungi lembah, dst”.

Cemoro Sewu, 15 feb 2011 pukul 2.30 dini hari
Basahnya jalanan menunjukan bahwa, di lereng gunung lawu tadi juga terjadi hujan, pantas saja hawanya dingin sekali, pikirku. Kami pun akhirnya hanya bias menggigil kedinginan di sebuah warung kopi yang ada di seberang jalan jalur pendakian.untung masih ada warung kopi buka jam segitu, kalau tidak ada bias mati kaku di sini.
Kami sengaja memilih jalur pendakian cemoro sewu di karenakan beberapa alasan, alasan pertama, jalur cemoro sewu berupa bebatuan, sehingga tidak akan becek di saaat misim penguhujan seperti ini, kedua, aman bagi pendaki pemula seperti aku ini, karena POS-pos pendakian berupa rumah-rumahan yang permanen, sehingga tidak perlu khawatir jika terjadi hujan.
Setelah dirasa cukup puas dengan kopi hitam hangat dan beberpa batang rokok, kami pun memutuskan untuk mencari tempat penitipan sepeda motor, setelah tahu gelagat kami, bapak penjual kopi akhirnya menawarkan diri, “mau nitipkan motor mas ?”, Tanya bapaknya tadi, dengan segera kami pun menjawab pertanyaan bapak tersebut “inggih pak, kira-kira yang ada sebelah mana ya pak ?”, “dititipin se saya aj mas, kebetulan rumah saya dekat, itu yang ada lampu neon-nya”, jawab bapaknya sembari menunjuk sebuah rumah, akhirnya kami pun menyerahkan motor dan kunci kami pada bapak si penjual kopi tersebut.
03.30
Karena hari masih gelap dan belum memungkinkan melakukan pendakian, akhirnya kami memutuskan untuk tidur dulu sebentar, kebetulan ada bangunan POS yang nyaman di sebelah belakang pintu gerbang pendakian. Dengan beralaskan matras karet dan tas sebagai bantalnya, kami pun tertidur meringkuk menahan dingin.
05.00
Baru tertidur sebentar, kami sudah merasa sulit tidur lagi, dinginya suhu pegunungan seakan sudah menyentuh tulang kami, akhirnya kami pun terbangun untuk melaksanakan shalat shubuh. Setelah shalat kami berkemas untuk memulai pendakian ini, sudah tidak shbar rasanya. J
Hari masih sangat pagi, panjaga pintu gerbang pendakian pun juga belum terlihat, biasanya setiap pendaki akan ditarik uang perawatan sebesar 5 ribu rupiah, tapi karena penjaganya belum dating, berarti gratis nie, kami pun tertawa-tawa dalam hati.
06.00
Setelah semua perlengkapan siap, kami pun berangkat, tidak lupa kami berdo’a terlebih dahulu, semoga pendakian kali ini lancer dan sehat sampai pulang kembali. Amiin
Gunung lawu adalah gunung yang unik, selain ramai dikunjungi dan didaki orang dari dari berbagai daerah, banyak factor lain yang membuat gunung lawu ini special, terutama lewat jalur cemoro sewu, antar lain :
a.       Pos-pos pendakian terbuat permanen, sehingga bias digunakan ntuk tempat berteduh dari hujan, nahkan bias digunakan untuk menginap;
b.   Jalan-jalan sudah berupa bebatuan yang ditata rapi, sehingga para pendaki tidak akan tersesat menuju puncak;
c.       Banyak sekali ditemukan warung makan, terutama di pos sendang drajat dan hargo dalem, sehingga pendaki tidak perlu khawatir kekurangan bekal atau kelaparan,apalagi warung-warung tersebut sudah sangat dekat dengan puncak, tinggal perjalanan 30 menit lagi sudah sampai puncak. Hal ini akan lebih banyak lagi ketika bulan muharram/ suro, kita akan sering bertemu para penjual makanan dan minuman di sepanjang jalur pendakian.
d.   Ada villa di puncak gunung lawu. Mungkin bagi anda yang baru pertama kali mendaki gunung lawu akan terkaget-kaget melihat ada bangunan megah di uncak gunung lawu. Yah itulah villa milik seorang pengusaha kertas dan buku tulis “KIKI”.
Baru berjalan beberapa menit, kepala kami terasa pening sekali, kami beru menyadari kalau kami belum makan sama sekali, bahkan aku baru ingat bahwa aku terakhir makan kemarin siang. Akhirnya setelah sampai di pos bayangan satu, kami putuskan untuk memasak dan makan terlebih dahulu, selain sudah sangat lapar, di belakang pos bayangan ini juga terdapat mata air yang jernih dan segar, sehingga mau masah apapun kami santai saja.
Meskipun hanya masak nasi dan mie goring, pagi itu sarapan terasa nikmat sekali, kami merasa segar kembali. Sambil menyulut rokok, kami beristirahat dan bercerita-cerita sebentar, ali banyak menceritakan pengalamanya mendaki gunung lawu berkali-kali. Tanpa disadari, dengan hawa gunung yang dingin dan sejuk, ditambah perut yang penuh terisi, dan kurang tidur, akhirnya kami merebahkan tubuh kami, sangat nyaman dan nyenyak sekali rasanya, dan kami pun teridur.
“monggo mass”, suara seorang ibu-ibu membangunkan kami, tanpa terasa kami telah tidur hamper satu jam. Aku pun segera menyahut “inggih bu”, “mboten minggah mas ?” Tanya ibunya lagi, “nembe istirahat riyin bu”, jawabku sembari menebak-nebak siapakah gerangan ibu dan bapak yang menyertainya tersebut. Nanti setelah sampai pos satu, kami baru tahu bahwa bapak dan ibu tersebut adalah pemilik warung yang berada di depan pos satu.
08.30
Setelah merasa cukup makan dan istirahat, kami pun segera berkemas untuk melanjutkan pendakian. Hari begitu sejuk dan nyaman waktu itu, kami pun sangat bersemangat melanjutkan pendakian ini. Sekitar 30 menit kami berjalan, akhirnya kami tiba di pos satu, di depan pos tersebut, ada sebuah rumah, tepatnya gubug yang hancur berantakan, kami melihat bapak dan ibu yang menyapa kami sedang menata kayu, si bapak sedang membenarkan tiang-tiang gubug kayu tersebut. Kami merasa sangat kasian dan iba melihat bapak dan ibu tersebut, aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya “kengeng nopo bu, kok saget rubuh ngoten ?”, si ibu menjawab “kenging badai mas”, aku sedikit tercengang, tersadar akan kata-kata temanku yang mendaki gunung lawu beberapa waktu lalu, dia tidak berhasil mencapai puncak, kendalanya adalah cuaca, badai sangat besar dan angin yang tidak menentu, bahkan menurut cerita temanku tadi, jalur pendakian gunung lawu sempat ditutup beberapa hari karena badai dan cuaca yang buruk.
Setelah mengobrol secukupnya, kami pun melanjutkan perjalanan kami, jarak dari pos satu sampai pos dua adalah jarak antar pos yang terjauh. Meskipun jauh perjalanan pagi itu menjadi tidak terasa, pemandangan kanan kiri yang berupa pepohonan cemara, bebatuan di sepanjang jalan dan perbukitan serta segarnya hawa gunung pagi itu membuat kita tidak merasa capai, sungguh indah, kami pun menyempatkan diri berfoto-foto pada sebuah batu legendaries, batu jago, selain bentuknya yang mirip ayam jago, batu ini juga menjulang tinggi, sehingga dengan menaikinya, kami dapat melihat pemandangan yang lebih indah.
Pukul 10an, Kami pun berjalan sambil mengobro l, bercerita, dan bercanda, tanpa terasa kami pun sampai di pos dua, kita pun beristirahat dan minum secukupnya. Cuaca pun berganti, kali ini kabut mulai tebal, sesaat kemudian rintik-rintik air turun, kami pun bergumam, hadeh, semoga saja tidak terus-terusan dan cepat reda. Maklum juga, cuaca di gunung memang tidak bias di duga, dari bawah terlihat cerah pun, belum tentu di gunung juga cerah, selain itu cuaca juga berubah-ubah dengan cepat, setelah cerah bisa saja barubah menjadi mendung dan hujan.
Lima belas menit berlalu, grimis pun mulai reda, kami melanjutkan perjalanan kembali menuju pos tiga,apabila kita berjalan terus menerus, tidak sampai satu jam untuk menuju pos tiga ini. Dari pos tiga ke pos empat, atau pos batu kapur, perjalanan kurang lebih sama, hanya saja,karena medan yang lebih curam, dan hi-track membuat kami sering beristirahat, tapi setelah sampai pos batu kapur, kita akan disuguhi pemandangan yang sangat indah, kita seakan beridiri di atas awan, dengan perbukitan jogolarangan yang menjulang di seberang membuat pemandangan menjadi semakin menawan,kami pun beristirahat dan berfoto-foto dengan penuh kepuasan.

Dari pos batu kapur ini, perjalanan kita sedikit ringan, jalanan tidak lagi curam dan ng-track, malah lebih banyak mendatarnya sampai pos sendang drajat. Inilah salah satu keunikan gunung lawu,  kita dapat menemukan sebuah mata air yang mana airnya selalu terisi sehingga pendaki yang kehabisan air pun bias tenang dan bias memasak sepuasnya.
Konon,sendang drajat ini merupakan peninggalan sunan drajat, salah seorang dari walisongo yang hendak menjemput dan mengislamkan ayah raden patah, raja islam dari kerajaan demak bintoro, yaitu raja majapahit terakhir, raja brawijaya. Di kisahkan setelah kerajaan majapahit mengalami keruntuhan, raja brawijaya beserta dua orang abdi dalemnya mengasingkan diri ke puncak gunung lawu. Kita pun dapat menemukan petilasan di dekat puncak gunung lawu yang terkenal dengan hargo dalem, sebuah tempat yang seperti makam, banyak cerita yang beredar bahwa raja brawijawa “mukso” di tempat ini. Dalam ajaran hindu budha, mukso berarti meninggalkan dunia utuh ruh dan jasadnya,sehingga jasadnya tidak akan ditemukan.
Di sendang drajat kami sedikit bersantai, katika aku mengusulkan untuk memasak, tapi si ali memberi saran kita ke puncak dulu saja, habis dari puncak kita baru makan, minum dan istirahat di warung Mbok Yem,.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke puncak, ternyata jarak dari sendang drajat ke puncak tidak terlalu jauh, cukup perjalanan 30 menit, kami sudah sampai di puncak tertinggi gunung lawu, hargo dumilah, pukul 13.30 siang..
Alahmdulillah.. maha kuasa dan maha besar Allah SWT
Setelah berfoto-foto sepuasnya kami pun turun, kea rah timur, kami hendak makan dulu ke warung kegendaris Mbok Yem.
Di depan tadi sudah kami singgung akan warung ini, memang gunung lawu sangatlah unik, menarik, dan selalu ramai akan pendaki. Bahkan di puncak gunung ini terdapat vila, tempat peribadahan umat hindu, dan beberapa warung yang ada di pos sendang drajat dan hargo dalem, jadi buat teman-teman yang mau mendaki gunung lawu, tidak perlu takut kelaparan atau kehausan. J
Kami pun makan dan istirahat sepuasnya di warung mbok yem, selain jual makanan, di sini juga menyediakan berbagai souvenir dan kenang-kenangan khas gunung lawu.
Sekitar jam 3,kami pun sholat dhuhur dan ashar, jama’ ta’khir qoshar, trus siap-siap untuk pulang. Bagi teman-teman pendaki, jangan lupa tetap shalat ya.. J
Pulang, dari hargo dalem kami berangkat sekitar pukul 03.30, alahamdulillah, perjalanan lancar, dan kami pun sampai di cemoro sewu kembali sekitar pukul 06.30 sore..
Kami pun langsung shalat, memasak kopi, dan membersihkan diri untuk bersiap-siap pulang..
Alhamdulillah, semoga dengan pendakian dan petualangan ini, kami semakin yakin pada kebesaran dan kekuasaanMu ya rabb..
Amiin

Umar PPWH, Senin, 30 januari 2012






Monday 26 November 2012

Pendakian Gunung Merbabu


Pendakian Gunung Merbabu
31 Desember 2010-1 januari 2011

Pendakian Ini adalah penglaman pertama mendaki gunung bagiku, selain aku juga ada beberapa teman yang juga baru pertama kali mendaki gunung, antara lain eko, nisa, genjix. Pada pendakian ini kita beranggotakan Sembilan orang, ada Aan, Danang, bayu, Ali, yus, genjix, eko dan nisa. Meskipun pemula, targetku tidak tanggung-tanggung, Puncak gunung merbabu harus aku injak..
Berikut kisah pengalamanku, o ya, bagi teman-teman yang baru pertama kali mendaki gunung, kayaknya kisahku ini lumayan juga untuk referensi.

Sragen, (kira2) 20 desemeber 2010
 Sebenarnya aku dengan teman-teman sudah lama sekali berpisah, maklum, sejak lulus SMA, kami melanjutkan studi ke berbagai perguruan tinggi yang sesuai keinginan kami masing-masing. O ya, perlu pembaca ketahui, mayoritas dari kami adalah alumni SMA N 2 Sragen, kami   lulus tahun 2005. Sebenarnya hobi mbolang ini sudah kami geluti sejak SMA, dulu waktu bebas atau pulang awal, kita kadang bermain ke air terjun Jumog, yang terletak di Sragen sebelah Selatan, sebuah daerah sejuk lereng gunung Lawu, atau sekedar jalan-jalan ke candi cetho, sebuah candi dan Pura bagi umat hindu yang ada di lerang gunung lawu.
Sebenarnya awal kisah keinginanku untuk ikut muncak bermula ketika si genjix alias ruddy pulang dari Kalimantan, kebetulan juga waktu itu sedang ramai final Piala Dunia 2010(aku lupa, final piala dunia apa final Indonesia melawan malaysia), pembaca ada yang tahu ?.. J
Ketika itu teman-teman juga pada “ngrembuk” pendakian, karena penasaran n sangat penasaran, akhirnya aku memberanikan diri untuk  “mendaftar”, semula teman-teman ragu, “serius, kamu pengen ikut muncak, dingin lho”, Tanya ali waktu itu.. “ok dong, siapa takut”, jawabku spontan..
Akhirnya kita beberapa kali mengadakan “rakernas” untuk mempersiapkan acara pendakian ini..
Jum’at, 31 desember 2010

RELASI, logistic para Pendaki Gunung..
Akhirnya waktu yang di tunggu datang juga, karena peserta berasal dari dua daerah, Tengah (Sragen) dan Barat (masaran), akhirnya kita berangkat secara berkelompok, kelompok tengah berkumpul di rumah ali, kelompok barat berkumpul di rumah mas bayu di Masaran..
Di iringi cuaca pagi yang cerah, akhirnya kami berangkat dari Sragen. Kami beriring-iringan mengendarai sepeda motor kami masing-masing. Kami tidak langsung menuju selo, boyolali, tapi kami menyiapkan segala kebutuhan logistic baik makanan, minuman dan keperluan lainya terlebih dahulu di Solo, sebuah Minimarket yang terkenal murah menjadi tujuan kami, RELASI, sebuah minimarket yang terletak di kartosuro, UMS ke barat.

Selo, Boyolali pukul 11 siang
Cuaca sedikit panas waktu kita berangkat dari Solo, tapi setelah melewati lereng-lereng gunung Merapi dan Merbabu yang sejuk, berkelok-kelok, curam, tapi sangat indah, akhirnya kami tiba di Selo, sebuah kelurahan dari kabupaten Boyolali yang tepat berada di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, dari desa inilah jalur pendakian gunung merapi dan Merbabu berada.
Setelah sampe di Selo, kami bersiap-siap untuk menjalankan Sholat Jum’at, di sebuah masjid yang selanjutnya akan menjadi tempat persinggahan kita ketika mendaki Gunung merapi maupun Gunung Merbabu.

Selo, 13.00
Setelah menjalankan Sholat Jum’at, plus jama’ taqdim Sholat Ashar, akhirnya kami bersiap-siap untuk melakukan pendakian, “bro, luaperr nie”, cletuk Danang, aku sendiri terus terang sejak pagi juga belum makan, setelah berdiskusi dan bermusyawarah, akhirnya kami sepakat untuk “isi bensin” terlebih dahulu, sebuah warung nasi yang berada di depan masjid, menjadi “tambatan” kami. J
Selo 14.30
Alhamdulillah, setelah “motoran” melewati jalan yang sangat curam dan menanjak, akhirnya kami tiba di salah satu rumah penduduk, yang paling tinggi, n yang terakhir, yang langsung berada di pinggir jalur pendakian.

Kami parkirkan motor kami, kami pun segera berganti “kostum” dan siap-siap melakukan pendakian.
Ketika berjalan baru lima menit, ternyata awan gelap yang sejak tadi siang menggantung sudah tidak tahan menahan uap-uap air yang telah di “kandungnya”, terpaksa kami pun kehujanan, mantel demi mantel kami keluarkan, ada pula yang tidak peduli dengan derasnya hujan, akhirnya dengan ditemani rintik-rintik hujan, hawa dingin gunung merbabu, dan suasana hutan yang rimbun dan lembab perjalanan kami lalui.

Sabana satu, 18.30
Perjalanan kali ini terasa sangat berat, apalagi aku yang memang baru pertama kali naik gunung, didukung kondisi alam yang tidak bersahabat, lengkaplah perjalanan kami. L
Iklim pada bulan desember-januari memang iklim yang tidak tepat untuk mendaki gunung, karena pada bulan-bulan ini adalah musim penghujan, bahkan puncak curah hujan ada di bulan-bulan ini, dalam perjalanan ini, selain hujan, badai juga tidak henti-hentinya menghempaskan tubuh kami, hawa dingin yang di “bumbui” hujan, menjadikan tubuh kami menggigil beku. Karena kencangnya badai, akhirnya kita sepakat untuk ng“dum” di sabana 1, suatu padang rerumputan dan ilalang yang agak luas, selain kami ternyata sudah banyak sekali kelompok-kelompok pendaki lainya yang bernasib sama dengan kami, paling tidak mirip. J
Badai tidak henti-hentinya badai meniup dan menerpa kami, bahkan ketika mendirikan dum alias tenda, kami sangat kesulitan, kebetulan kami hanya membawa dua dum, akhirnya mau tidak mau kami harus “desel-deselan”, “malah tambah anget”, ujar genjix yang berbadan gendut. “aku tidur di luar aj”, Aan mengagetkan kami, maklum juga sieh “mbah adoh”, si bolang satu ini mang sudah malang-melintang dalam dunia pergunungan, gunung dari ujung timur sampe ujung barat sudah dia jamah, maklum dia adalah anggota Tulen MALIMPA, mahasiswa pecinta alam UMS Surakarta.
Setelah menunaikan shalat magrib dan isya’ yang kami jama’ ta’khir Qashar, kami menghidupkan kompor, mengisi perut yang kosong, dan menghangatkan diri dengan secangkir kopi. Hangatnya kopi dan sebatang rokok Djarum terasa nikmat malam itu, kebetulan dari Sembilan orang ini Cuma aku yang merokok, jadi bisa agak santai, karena tigak khawatir stok habis, he2.

Capeknya perjalanan sejenak terlupakan, dinginya badai pun juga tidak terasa, meskipun yang lain sudah pada memasuki “kandang”masing-masing. Aku, aan, dan bayu masih asyik menikmati malam itu, bagiku, malam itu adalah malam yang sangat istimewa, aku serasa menyatu dengan alam, badaipun serasa sapaan-sapaan dari alam yang ingin berkenalan denganku, aku merasa sangat damai, tenang, tentram dan bahagia.
Setelah merasa cukup ngantuk akhirnya aku memasuki “istana” gunungku, pikiranku terbang melayang, membawa rasa capai ke angkasa dan membuangnya jauh di sana. :D
Sabana satu, 00.00
Malam itu, badai tidak kunjung reda, dum kami terhempas ke kanan, ke kiri, ke belakang tidak karuan. Suara letusan-letusan membangunkanku, dinginya malam semakin merasuk ke dalam tubuhku, aq tersadar, baru sadar kalau malam ini adalah malam pergantian tahun, besok adalah tahun baru, 1 januari 2011.
Aku juga heran, sekaligus faham, di malam yang sedingin dan badai sedahsyat ini, para pendaki itu serasa tidak peduli, mereka sangat menikmati untaian kembang api yang saling berganti, sambung-menyambung. Aku yakin, meraka tidak akan melupakan mala mini, entah dalam kebahagiaan, kehisterisan, ataukah kepedihan dan kepiluan.
Saking capeknya, aku pun nyenyak, tertidur kembali.
Sabana satu, 05.00
Pagi itu, suasana masih berkabut, sun rise yang di tunggu-tunggu pun tidak kunjung memperlihatkan diri, sperti dugaan kami, cuaca pun belum bersahabat, kabut, mendung, badai masih berseliweran di sekitar kami.
Dengan berat, kami membangunkan tubuh kami yang lunglai, lemas, lapar, dan kepayahan. Shlat shubuh pun terasa sangat berat, engan bertayamum pada tenda, Alhamdulillah, kami tunaikan kewajiban kami ini dengan berjama’ah, penuh rasa syukur, dan penuh do’a semoa Allah SWT selalu melindungi kami dan melancarkan perjalanan kami.


Selesai sholat, kami berjalan-jalan berkeliling sabana, tanpa aku sadari  (karena memang baru pendaki pemula) ternyata gunung merapi dengan penuh kegagahan berada di depan kami, meskipun saat itu masih kabut dan badai, sehingga pemandangan kurang begitu bagus, tapi bagiku pemandangan itu sangatlah berkesan dan istimewa bagiku.

Sesampainya di tempat kami ngecamp, ternyata teman-teman telas asyik memasak nasi dan mie goreng, baunya sungguh menggugah selera, di tambah perut yang sudah keroncongan, wuihhh, mantabb nie. Sambil menunggu nasi masak, kita bercanda kemari di temani roti, camilan, kopi, dan bagiku tentu saja rokok, benar-benar pagi yang indah, dan penuh kebersamaan.
“Walahhh, ngletiss”, teriak genjix alias ruddy, ingat dobel “D”, kalu salah tulis tidak segan-segan dia akan “menyembur”mu. He2. Ngletis adalah bahasa jawa untuk nasi yang belum matang, masih agak keras dan sangat tidak nyaman di perut. Stelah sekian lama menanti dengan penuh nafsu, ternyata kami tidak mampu menghabiskan nasi dan mie goreng tersebut, sama persis, plek dengan hukum ekonomi, “semakin lama kita menikmati suatu barang/perkara, maka kenikmatanya akan terus menurun”, missal kita berlari jauh, kita haus sekali, sesampainya di rumah, kita minum es teh, pada awal-awal minum es teh, kita merasa sangat nikmat sekali, tetapi setelah habis segelas, dua gelas, es teh tersebut tidak akan terasa nikmat sama sekali.
Sabana satu, 08.00
Belum redanya kabut dan badai membuat kami galau, gundah, dan gelisah (he2, lebay ya..). beberapa teman bahkan ragu untuk meneruskan pendakian ini, akhirnya kami berkumpul, bermusyawarah dan berembuk, ada sekelompok teman yang menghendaki pendakian dicukupkan sampai di sini, ada juga yang berharap pendakian tetap dilanjutkan, salah satunya adalah aku. Aku berargumen, pendakian harus dilanjutkan karena, pertama, hari masih pagi, kedua, sangat mungkin sekali cuaca akan berubah menjadi cerah pada siang nanti, ketiga, banyak pendaki lain yang tetap melanjutkan pendakian, keempat, logistic masih sangat mencukupi seumpama kita harus bermalam sekali lagi, dan kelima (dan ini merupakan pribadiku saja) aku baru pertama kali mendaki, (masak pertama kali dan harus gagal, he2). Alhamdulillah, akhirnya teman-teman sepakat melanjutkan pendakian dengan berbagai catatan, kayak anggota DPR saja pikirku, he2. Catatn pertama, jika cuaca tidak berubah sampai jam 12.00 siang nanti, kita harus turun, kedua, jika sampai jam 12.00 belum sampai puncak, dan cuaca masih tidak berubah, kita juga harus turun.

Sabana satu 08.30
Tepat jam 08.30an, setelah berkemas dan packing, akhirnya kami melanjutkan perjalanan panjang. Bahkan kata Aan, perjalanan masih lebih dari separuh,maklum dia sudah tidak terhitung berapa kali mendaki gunung merbabu, sehingga dia sangat hafal sekali rute, waktu tempuh, jarak, dan medan. Stelah melewati tanjakan yang curam dan licin, tibalah kami pada sabana dua, suatu padang rumput yang luas dan indah, kami sangat menikmati pemandangan yang ada. Allah SWT mengabulkan do’a kami, cuaca berangsur cerah, bahkan sesekali panas dan angin kencang. Di kanan kiri pemandangan pohon-pohon edelweiss begitu menawan, sangat rimbun sekali, berbeda dengan gunung-gunung yang lainya yang sangat jarang, tidak sebanyak di gunung merbabu. Di belakang kami, gunung merapi seakan melambaikan tanganya sebagai salam perpisahan. Sesekali kami beristirahat, untuk sekedar minum, ngemil atau tiduran saja.

Pada perjalanan ini, kami agak berjauhan antara satu dengan yang lainya, selain intuk mempercepat perjalanan, ini juga di karenakan perbedaan stamina dan kondisi fisik kami. Danang, ali, yus, bahkan sudah jauh di depan, aku yang bertenaga pas-pasan lebih memilih sebagai kaum netral, tidak terlalu cepat, tapi juga tidak tertinggal, ada juga yang menjadi kaum terbelakang, salah satunya genjix, menurutku selain faktor berat  badan yang seperti kambing bunting tiga, juga faktor lainya, seperti, pengait sandal yang putus yang membuat dia harus “cakaran”, juga faktor celana jeans merk tidak jelas yang semakin terasa ketat di kaki, paha, dan pantatnya, sehingga peredaran darah terganggu dan membuat kaki sulit di ajak kompromi untuk berjalan.
Tragedi sandal ELGER
 Di antara rombongan pendaki kami kali ini, genjix memang menjadi sosok “public figure”, sorotan, sasaran, juga hiburan. Papaun yang dia katakana, atau ulah apapun yang dia lakukan, akan membuat kami terbahak-bahak,salah satunya adalah sandal baru yang dia beli di malioboro Yogyakarta. Sejak sandalnya “jebat”, dan dia harus jalan kaki “nyakar”, teman selalu mengeles dan “menggojloki”nya. “makanya njix, beli sandal gunung tuh yang EIGER, jangan yang ELGER” cletuk danang dengan penuh kepuasan. Perlu pembaca ketahui, EIGER merupakan suatu merk sandal, sepatu, tas atau perlengkapan petualangan lainya yang terkenal awet, kuat, dan tahan lama, dan hanya memiliki satu kelemahan, yaitu tidak anti maling,J. Saking terkenal bagusnya, merk ini sering sekali dibajak, ditiru atau dipalsukan, di antar merk yang sering terdengar yaitu ada ELGER, EAGER, EGER dan lain sebagainya.
Setelah agak lama “nyakar” dan penuh kepayahan, mulai terlihat tanda-tanda keputus asaan di wajah genjix. akhirnya dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan mawas diri, dia menyatakan “cukup sampai di sini”, dia sudah tidak kuat melanjutkan perjalanan kembali, aku dan beberapa teman meyakinkan bahwa puncak sudah sangat dekat, tinggal beberapa menit lagi sampai, tapi dengan penuh keteguhan hati genjix tetap ingin bertahan di sini saja. Ketika itu, kita sudah sampai di sabana bawah puncak, ada sebelah batu kenteng, lesung di sebelah kanan kami, tidak terlalu jauh.
Kami dan teman-teman bermusyawarah, apa yang mesti kami selanjutnya demi kelangsungan dan kesuksesan pendakian ini. Akhrinya kami sepakat untuk mempercepat sampai puncak, yaitu dengan membawa minum secukupnya dan meninggalkan keril, tas, dan barang-barang lainya bersama genjix. Dan dengan penuh kesadaran, si genjix membuka keril, kompor, dan mie, dia akan memasak. Alhamdulillah, berarti setelah turun dari puncak, bias langsung “isi bensin” ntar. J
Puncak Syarif, 1 januari 2011, 12.00 AM
Perjalanan yang benar-benar menguras tenaga kami, jalan yang nger”track”, hari yang semakin siang dan panas, membuat kami “kempis-kempis” menuju puncak.
Alhamdulillah, tepat jam 12.00 siang, kami berhasil menginjakan kaki ke puncak Syarif, salah satu puncak gunung merbabu, selain puncak kenteng songo. Sebenarnya jarak puncak syarif dan puncak kenteng songo cukup dekat, paling sekitar 10 menit perjalanan. Tapi dengan berbagai pertimbangan, kami sudah cukup puas menginjakan kaki di puncak syarif saja.

Setelah sekitar 30 menit di puncak untuk berfoto-foto ria dan makan, minum, dan istirahat secukupnya, kami memutuskan untuk turun, kasian juga si genjix jika harus menunggu lama-lama.
Dengan penuh kepuasan, kebanggaan, dan kebahagiaan yang tiada tara, kami menyusuri jalan-jalan menurun, saking semangatnya, mas yus, ali, dan dannang turun berlarian. Benar-benar tidak sebanding, untuknaik ke puncak dari tempat genjix, kami memutuhkan waktu sampai satu jam, tapi untuk turun, kami hanya butuh waktu tidak kurang dari lima belas menit. Hmmm..
Sesampainya di tempat genjix, kami pun makan, minum, dan istirahat sepuasnya, seakan perjalanan sangat mudah dan menyenangkan, kami melupakan setiap penderitaan dan jerih payah sebelumnya. Dengan penuh kegagahan, sekitar pukul 13.30 akhirnya kita meneruskan perjalanan untuk pulang. Dengan harapan Semoga sebelum magrib kami sudah tiba di tempat penitipan motor kami. Amiin





Selo, 17.30

Hari mulai gelap, kami pun mulai sedikit memicingkan mata dalam menelusuri jalan setapak yang bagi kami tiada ujung ini. Kami berharap sesegera mungkin sampai di tempat penitipan motor, lalu makan, sholat dan pulang. Pasti menyenangkan sekali.
Setelah memasuki hutan-hutan pinus, kami sedikit lega, karena biasanya hutan pinus menjadi pembatas wilayah pertanian penduduk dan hutan yang menjadi taman nasional.
Akhirnya tepat beberapa menit sebelum magrib, kami tiba di depan tempat penitipan motor kami dengan beribu perasaaan yang tidak bias di ungkapkan, antara bersyukur kepadaNYA, capek, bahagia, bangga, dan perjalanan yang membuat kami hamper putus asa.

Setelah istirahat dengan cukup, kami bersiap-siap dan packing untuk segera kembali ke rumah kita masing-masing. Sebelum pulang perut yang keroncongan dan kondisi badan yang kotor dan kami juga belum sholat, akhirnya kami mampir ke warung untuk makan sepuasnya.
Setelah makan, minum, dan bersantai sepuasnya, lalu kami ke masjid yang tidak jauh dari warung kami, kami sholat dan membersihkan diri.
Dengan penuh bahagia, sekitar pukul 20.30 kami akhirnya menyusuri jalan pegunungan yang berlenggak-lenggok, aku kembali ke jogja, teman-teman langsung menuju Sragen, ke rumah masing-masing.
Alhamdulillah, terimaksih ya Robb,engkau telah memudahkan perjalanan kami kali ini, semoga perjalanan ini menjadi awal petualangan-petualangan kami selanjutnya, dan semoga engkau juga memudahkanya. Amiin

Jogja, 25 januari 2012
(sudah satu tahun, tapi baru sempat menulis kisah pendakian ini sekarang, J )