Monday 26 November 2012

Pendakian Gunung Merbabu


Pendakian Gunung Merbabu
31 Desember 2010-1 januari 2011

Pendakian Ini adalah penglaman pertama mendaki gunung bagiku, selain aku juga ada beberapa teman yang juga baru pertama kali mendaki gunung, antara lain eko, nisa, genjix. Pada pendakian ini kita beranggotakan Sembilan orang, ada Aan, Danang, bayu, Ali, yus, genjix, eko dan nisa. Meskipun pemula, targetku tidak tanggung-tanggung, Puncak gunung merbabu harus aku injak..
Berikut kisah pengalamanku, o ya, bagi teman-teman yang baru pertama kali mendaki gunung, kayaknya kisahku ini lumayan juga untuk referensi.

Sragen, (kira2) 20 desemeber 2010
 Sebenarnya aku dengan teman-teman sudah lama sekali berpisah, maklum, sejak lulus SMA, kami melanjutkan studi ke berbagai perguruan tinggi yang sesuai keinginan kami masing-masing. O ya, perlu pembaca ketahui, mayoritas dari kami adalah alumni SMA N 2 Sragen, kami   lulus tahun 2005. Sebenarnya hobi mbolang ini sudah kami geluti sejak SMA, dulu waktu bebas atau pulang awal, kita kadang bermain ke air terjun Jumog, yang terletak di Sragen sebelah Selatan, sebuah daerah sejuk lereng gunung Lawu, atau sekedar jalan-jalan ke candi cetho, sebuah candi dan Pura bagi umat hindu yang ada di lerang gunung lawu.
Sebenarnya awal kisah keinginanku untuk ikut muncak bermula ketika si genjix alias ruddy pulang dari Kalimantan, kebetulan juga waktu itu sedang ramai final Piala Dunia 2010(aku lupa, final piala dunia apa final Indonesia melawan malaysia), pembaca ada yang tahu ?.. J
Ketika itu teman-teman juga pada “ngrembuk” pendakian, karena penasaran n sangat penasaran, akhirnya aku memberanikan diri untuk  “mendaftar”, semula teman-teman ragu, “serius, kamu pengen ikut muncak, dingin lho”, Tanya ali waktu itu.. “ok dong, siapa takut”, jawabku spontan..
Akhirnya kita beberapa kali mengadakan “rakernas” untuk mempersiapkan acara pendakian ini..
Jum’at, 31 desember 2010

RELASI, logistic para Pendaki Gunung..
Akhirnya waktu yang di tunggu datang juga, karena peserta berasal dari dua daerah, Tengah (Sragen) dan Barat (masaran), akhirnya kita berangkat secara berkelompok, kelompok tengah berkumpul di rumah ali, kelompok barat berkumpul di rumah mas bayu di Masaran..
Di iringi cuaca pagi yang cerah, akhirnya kami berangkat dari Sragen. Kami beriring-iringan mengendarai sepeda motor kami masing-masing. Kami tidak langsung menuju selo, boyolali, tapi kami menyiapkan segala kebutuhan logistic baik makanan, minuman dan keperluan lainya terlebih dahulu di Solo, sebuah Minimarket yang terkenal murah menjadi tujuan kami, RELASI, sebuah minimarket yang terletak di kartosuro, UMS ke barat.

Selo, Boyolali pukul 11 siang
Cuaca sedikit panas waktu kita berangkat dari Solo, tapi setelah melewati lereng-lereng gunung Merapi dan Merbabu yang sejuk, berkelok-kelok, curam, tapi sangat indah, akhirnya kami tiba di Selo, sebuah kelurahan dari kabupaten Boyolali yang tepat berada di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, dari desa inilah jalur pendakian gunung merapi dan Merbabu berada.
Setelah sampe di Selo, kami bersiap-siap untuk menjalankan Sholat Jum’at, di sebuah masjid yang selanjutnya akan menjadi tempat persinggahan kita ketika mendaki Gunung merapi maupun Gunung Merbabu.

Selo, 13.00
Setelah menjalankan Sholat Jum’at, plus jama’ taqdim Sholat Ashar, akhirnya kami bersiap-siap untuk melakukan pendakian, “bro, luaperr nie”, cletuk Danang, aku sendiri terus terang sejak pagi juga belum makan, setelah berdiskusi dan bermusyawarah, akhirnya kami sepakat untuk “isi bensin” terlebih dahulu, sebuah warung nasi yang berada di depan masjid, menjadi “tambatan” kami. J
Selo 14.30
Alhamdulillah, setelah “motoran” melewati jalan yang sangat curam dan menanjak, akhirnya kami tiba di salah satu rumah penduduk, yang paling tinggi, n yang terakhir, yang langsung berada di pinggir jalur pendakian.

Kami parkirkan motor kami, kami pun segera berganti “kostum” dan siap-siap melakukan pendakian.
Ketika berjalan baru lima menit, ternyata awan gelap yang sejak tadi siang menggantung sudah tidak tahan menahan uap-uap air yang telah di “kandungnya”, terpaksa kami pun kehujanan, mantel demi mantel kami keluarkan, ada pula yang tidak peduli dengan derasnya hujan, akhirnya dengan ditemani rintik-rintik hujan, hawa dingin gunung merbabu, dan suasana hutan yang rimbun dan lembab perjalanan kami lalui.

Sabana satu, 18.30
Perjalanan kali ini terasa sangat berat, apalagi aku yang memang baru pertama kali naik gunung, didukung kondisi alam yang tidak bersahabat, lengkaplah perjalanan kami. L
Iklim pada bulan desember-januari memang iklim yang tidak tepat untuk mendaki gunung, karena pada bulan-bulan ini adalah musim penghujan, bahkan puncak curah hujan ada di bulan-bulan ini, dalam perjalanan ini, selain hujan, badai juga tidak henti-hentinya menghempaskan tubuh kami, hawa dingin yang di “bumbui” hujan, menjadikan tubuh kami menggigil beku. Karena kencangnya badai, akhirnya kita sepakat untuk ng“dum” di sabana 1, suatu padang rerumputan dan ilalang yang agak luas, selain kami ternyata sudah banyak sekali kelompok-kelompok pendaki lainya yang bernasib sama dengan kami, paling tidak mirip. J
Badai tidak henti-hentinya badai meniup dan menerpa kami, bahkan ketika mendirikan dum alias tenda, kami sangat kesulitan, kebetulan kami hanya membawa dua dum, akhirnya mau tidak mau kami harus “desel-deselan”, “malah tambah anget”, ujar genjix yang berbadan gendut. “aku tidur di luar aj”, Aan mengagetkan kami, maklum juga sieh “mbah adoh”, si bolang satu ini mang sudah malang-melintang dalam dunia pergunungan, gunung dari ujung timur sampe ujung barat sudah dia jamah, maklum dia adalah anggota Tulen MALIMPA, mahasiswa pecinta alam UMS Surakarta.
Setelah menunaikan shalat magrib dan isya’ yang kami jama’ ta’khir Qashar, kami menghidupkan kompor, mengisi perut yang kosong, dan menghangatkan diri dengan secangkir kopi. Hangatnya kopi dan sebatang rokok Djarum terasa nikmat malam itu, kebetulan dari Sembilan orang ini Cuma aku yang merokok, jadi bisa agak santai, karena tigak khawatir stok habis, he2.

Capeknya perjalanan sejenak terlupakan, dinginya badai pun juga tidak terasa, meskipun yang lain sudah pada memasuki “kandang”masing-masing. Aku, aan, dan bayu masih asyik menikmati malam itu, bagiku, malam itu adalah malam yang sangat istimewa, aku serasa menyatu dengan alam, badaipun serasa sapaan-sapaan dari alam yang ingin berkenalan denganku, aku merasa sangat damai, tenang, tentram dan bahagia.
Setelah merasa cukup ngantuk akhirnya aku memasuki “istana” gunungku, pikiranku terbang melayang, membawa rasa capai ke angkasa dan membuangnya jauh di sana. :D
Sabana satu, 00.00
Malam itu, badai tidak kunjung reda, dum kami terhempas ke kanan, ke kiri, ke belakang tidak karuan. Suara letusan-letusan membangunkanku, dinginya malam semakin merasuk ke dalam tubuhku, aq tersadar, baru sadar kalau malam ini adalah malam pergantian tahun, besok adalah tahun baru, 1 januari 2011.
Aku juga heran, sekaligus faham, di malam yang sedingin dan badai sedahsyat ini, para pendaki itu serasa tidak peduli, mereka sangat menikmati untaian kembang api yang saling berganti, sambung-menyambung. Aku yakin, meraka tidak akan melupakan mala mini, entah dalam kebahagiaan, kehisterisan, ataukah kepedihan dan kepiluan.
Saking capeknya, aku pun nyenyak, tertidur kembali.
Sabana satu, 05.00
Pagi itu, suasana masih berkabut, sun rise yang di tunggu-tunggu pun tidak kunjung memperlihatkan diri, sperti dugaan kami, cuaca pun belum bersahabat, kabut, mendung, badai masih berseliweran di sekitar kami.
Dengan berat, kami membangunkan tubuh kami yang lunglai, lemas, lapar, dan kepayahan. Shlat shubuh pun terasa sangat berat, engan bertayamum pada tenda, Alhamdulillah, kami tunaikan kewajiban kami ini dengan berjama’ah, penuh rasa syukur, dan penuh do’a semoa Allah SWT selalu melindungi kami dan melancarkan perjalanan kami.


Selesai sholat, kami berjalan-jalan berkeliling sabana, tanpa aku sadari  (karena memang baru pendaki pemula) ternyata gunung merapi dengan penuh kegagahan berada di depan kami, meskipun saat itu masih kabut dan badai, sehingga pemandangan kurang begitu bagus, tapi bagiku pemandangan itu sangatlah berkesan dan istimewa bagiku.

Sesampainya di tempat kami ngecamp, ternyata teman-teman telas asyik memasak nasi dan mie goreng, baunya sungguh menggugah selera, di tambah perut yang sudah keroncongan, wuihhh, mantabb nie. Sambil menunggu nasi masak, kita bercanda kemari di temani roti, camilan, kopi, dan bagiku tentu saja rokok, benar-benar pagi yang indah, dan penuh kebersamaan.
“Walahhh, ngletiss”, teriak genjix alias ruddy, ingat dobel “D”, kalu salah tulis tidak segan-segan dia akan “menyembur”mu. He2. Ngletis adalah bahasa jawa untuk nasi yang belum matang, masih agak keras dan sangat tidak nyaman di perut. Stelah sekian lama menanti dengan penuh nafsu, ternyata kami tidak mampu menghabiskan nasi dan mie goreng tersebut, sama persis, plek dengan hukum ekonomi, “semakin lama kita menikmati suatu barang/perkara, maka kenikmatanya akan terus menurun”, missal kita berlari jauh, kita haus sekali, sesampainya di rumah, kita minum es teh, pada awal-awal minum es teh, kita merasa sangat nikmat sekali, tetapi setelah habis segelas, dua gelas, es teh tersebut tidak akan terasa nikmat sama sekali.
Sabana satu, 08.00
Belum redanya kabut dan badai membuat kami galau, gundah, dan gelisah (he2, lebay ya..). beberapa teman bahkan ragu untuk meneruskan pendakian ini, akhirnya kami berkumpul, bermusyawarah dan berembuk, ada sekelompok teman yang menghendaki pendakian dicukupkan sampai di sini, ada juga yang berharap pendakian tetap dilanjutkan, salah satunya adalah aku. Aku berargumen, pendakian harus dilanjutkan karena, pertama, hari masih pagi, kedua, sangat mungkin sekali cuaca akan berubah menjadi cerah pada siang nanti, ketiga, banyak pendaki lain yang tetap melanjutkan pendakian, keempat, logistic masih sangat mencukupi seumpama kita harus bermalam sekali lagi, dan kelima (dan ini merupakan pribadiku saja) aku baru pertama kali mendaki, (masak pertama kali dan harus gagal, he2). Alhamdulillah, akhirnya teman-teman sepakat melanjutkan pendakian dengan berbagai catatan, kayak anggota DPR saja pikirku, he2. Catatn pertama, jika cuaca tidak berubah sampai jam 12.00 siang nanti, kita harus turun, kedua, jika sampai jam 12.00 belum sampai puncak, dan cuaca masih tidak berubah, kita juga harus turun.

Sabana satu 08.30
Tepat jam 08.30an, setelah berkemas dan packing, akhirnya kami melanjutkan perjalanan panjang. Bahkan kata Aan, perjalanan masih lebih dari separuh,maklum dia sudah tidak terhitung berapa kali mendaki gunung merbabu, sehingga dia sangat hafal sekali rute, waktu tempuh, jarak, dan medan. Stelah melewati tanjakan yang curam dan licin, tibalah kami pada sabana dua, suatu padang rumput yang luas dan indah, kami sangat menikmati pemandangan yang ada. Allah SWT mengabulkan do’a kami, cuaca berangsur cerah, bahkan sesekali panas dan angin kencang. Di kanan kiri pemandangan pohon-pohon edelweiss begitu menawan, sangat rimbun sekali, berbeda dengan gunung-gunung yang lainya yang sangat jarang, tidak sebanyak di gunung merbabu. Di belakang kami, gunung merapi seakan melambaikan tanganya sebagai salam perpisahan. Sesekali kami beristirahat, untuk sekedar minum, ngemil atau tiduran saja.

Pada perjalanan ini, kami agak berjauhan antara satu dengan yang lainya, selain intuk mempercepat perjalanan, ini juga di karenakan perbedaan stamina dan kondisi fisik kami. Danang, ali, yus, bahkan sudah jauh di depan, aku yang bertenaga pas-pasan lebih memilih sebagai kaum netral, tidak terlalu cepat, tapi juga tidak tertinggal, ada juga yang menjadi kaum terbelakang, salah satunya genjix, menurutku selain faktor berat  badan yang seperti kambing bunting tiga, juga faktor lainya, seperti, pengait sandal yang putus yang membuat dia harus “cakaran”, juga faktor celana jeans merk tidak jelas yang semakin terasa ketat di kaki, paha, dan pantatnya, sehingga peredaran darah terganggu dan membuat kaki sulit di ajak kompromi untuk berjalan.
Tragedi sandal ELGER
 Di antara rombongan pendaki kami kali ini, genjix memang menjadi sosok “public figure”, sorotan, sasaran, juga hiburan. Papaun yang dia katakana, atau ulah apapun yang dia lakukan, akan membuat kami terbahak-bahak,salah satunya adalah sandal baru yang dia beli di malioboro Yogyakarta. Sejak sandalnya “jebat”, dan dia harus jalan kaki “nyakar”, teman selalu mengeles dan “menggojloki”nya. “makanya njix, beli sandal gunung tuh yang EIGER, jangan yang ELGER” cletuk danang dengan penuh kepuasan. Perlu pembaca ketahui, EIGER merupakan suatu merk sandal, sepatu, tas atau perlengkapan petualangan lainya yang terkenal awet, kuat, dan tahan lama, dan hanya memiliki satu kelemahan, yaitu tidak anti maling,J. Saking terkenal bagusnya, merk ini sering sekali dibajak, ditiru atau dipalsukan, di antar merk yang sering terdengar yaitu ada ELGER, EAGER, EGER dan lain sebagainya.
Setelah agak lama “nyakar” dan penuh kepayahan, mulai terlihat tanda-tanda keputus asaan di wajah genjix. akhirnya dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan mawas diri, dia menyatakan “cukup sampai di sini”, dia sudah tidak kuat melanjutkan perjalanan kembali, aku dan beberapa teman meyakinkan bahwa puncak sudah sangat dekat, tinggal beberapa menit lagi sampai, tapi dengan penuh keteguhan hati genjix tetap ingin bertahan di sini saja. Ketika itu, kita sudah sampai di sabana bawah puncak, ada sebelah batu kenteng, lesung di sebelah kanan kami, tidak terlalu jauh.
Kami dan teman-teman bermusyawarah, apa yang mesti kami selanjutnya demi kelangsungan dan kesuksesan pendakian ini. Akhrinya kami sepakat untuk mempercepat sampai puncak, yaitu dengan membawa minum secukupnya dan meninggalkan keril, tas, dan barang-barang lainya bersama genjix. Dan dengan penuh kesadaran, si genjix membuka keril, kompor, dan mie, dia akan memasak. Alhamdulillah, berarti setelah turun dari puncak, bias langsung “isi bensin” ntar. J
Puncak Syarif, 1 januari 2011, 12.00 AM
Perjalanan yang benar-benar menguras tenaga kami, jalan yang nger”track”, hari yang semakin siang dan panas, membuat kami “kempis-kempis” menuju puncak.
Alhamdulillah, tepat jam 12.00 siang, kami berhasil menginjakan kaki ke puncak Syarif, salah satu puncak gunung merbabu, selain puncak kenteng songo. Sebenarnya jarak puncak syarif dan puncak kenteng songo cukup dekat, paling sekitar 10 menit perjalanan. Tapi dengan berbagai pertimbangan, kami sudah cukup puas menginjakan kaki di puncak syarif saja.

Setelah sekitar 30 menit di puncak untuk berfoto-foto ria dan makan, minum, dan istirahat secukupnya, kami memutuskan untuk turun, kasian juga si genjix jika harus menunggu lama-lama.
Dengan penuh kepuasan, kebanggaan, dan kebahagiaan yang tiada tara, kami menyusuri jalan-jalan menurun, saking semangatnya, mas yus, ali, dan dannang turun berlarian. Benar-benar tidak sebanding, untuknaik ke puncak dari tempat genjix, kami memutuhkan waktu sampai satu jam, tapi untuk turun, kami hanya butuh waktu tidak kurang dari lima belas menit. Hmmm..
Sesampainya di tempat genjix, kami pun makan, minum, dan istirahat sepuasnya, seakan perjalanan sangat mudah dan menyenangkan, kami melupakan setiap penderitaan dan jerih payah sebelumnya. Dengan penuh kegagahan, sekitar pukul 13.30 akhirnya kita meneruskan perjalanan untuk pulang. Dengan harapan Semoga sebelum magrib kami sudah tiba di tempat penitipan motor kami. Amiin





Selo, 17.30

Hari mulai gelap, kami pun mulai sedikit memicingkan mata dalam menelusuri jalan setapak yang bagi kami tiada ujung ini. Kami berharap sesegera mungkin sampai di tempat penitipan motor, lalu makan, sholat dan pulang. Pasti menyenangkan sekali.
Setelah memasuki hutan-hutan pinus, kami sedikit lega, karena biasanya hutan pinus menjadi pembatas wilayah pertanian penduduk dan hutan yang menjadi taman nasional.
Akhirnya tepat beberapa menit sebelum magrib, kami tiba di depan tempat penitipan motor kami dengan beribu perasaaan yang tidak bias di ungkapkan, antara bersyukur kepadaNYA, capek, bahagia, bangga, dan perjalanan yang membuat kami hamper putus asa.

Setelah istirahat dengan cukup, kami bersiap-siap dan packing untuk segera kembali ke rumah kita masing-masing. Sebelum pulang perut yang keroncongan dan kondisi badan yang kotor dan kami juga belum sholat, akhirnya kami mampir ke warung untuk makan sepuasnya.
Setelah makan, minum, dan bersantai sepuasnya, lalu kami ke masjid yang tidak jauh dari warung kami, kami sholat dan membersihkan diri.
Dengan penuh bahagia, sekitar pukul 20.30 kami akhirnya menyusuri jalan pegunungan yang berlenggak-lenggok, aku kembali ke jogja, teman-teman langsung menuju Sragen, ke rumah masing-masing.
Alhamdulillah, terimaksih ya Robb,engkau telah memudahkan perjalanan kami kali ini, semoga perjalanan ini menjadi awal petualangan-petualangan kami selanjutnya, dan semoga engkau juga memudahkanya. Amiin

Jogja, 25 januari 2012
(sudah satu tahun, tapi baru sempat menulis kisah pendakian ini sekarang, J )



No comments:

Post a Comment