Pendakian Gunung
Merbabu
31 Desember 2010-1
januari 2011
Pendakian Ini adalah penglaman
pertama mendaki gunung bagiku, selain aku juga ada beberapa teman yang juga
baru pertama kali mendaki gunung, antara lain eko, nisa, genjix. Pada pendakian
ini kita beranggotakan Sembilan orang, ada Aan, Danang, bayu, Ali, yus, genjix,
eko dan nisa. Meskipun pemula, targetku tidak tanggung-tanggung, Puncak gunung
merbabu harus aku injak..
Berikut kisah pengalamanku, o ya,
bagi teman-teman yang baru pertama kali mendaki gunung, kayaknya kisahku ini
lumayan juga untuk referensi.
Sragen, (kira2) 20 desemeber
2010
Sebenarnya aku dengan teman-teman sudah lama
sekali berpisah, maklum, sejak lulus SMA, kami melanjutkan studi ke berbagai
perguruan tinggi yang sesuai keinginan kami masing-masing. O ya, perlu pembaca
ketahui, mayoritas dari kami adalah alumni SMA N 2 Sragen, kami lulus
tahun 2005. Sebenarnya hobi mbolang ini sudah kami geluti sejak SMA, dulu waktu
bebas atau pulang awal, kita kadang bermain ke air terjun Jumog, yang terletak
di Sragen sebelah Selatan, sebuah daerah sejuk lereng gunung Lawu, atau sekedar
jalan-jalan ke candi cetho, sebuah candi dan Pura bagi umat hindu yang ada di
lerang gunung lawu.
Sebenarnya awal kisah keinginanku
untuk ikut muncak bermula ketika si genjix alias ruddy pulang dari Kalimantan,
kebetulan juga waktu itu sedang ramai final Piala Dunia 2010(aku lupa, final
piala dunia apa final Indonesia melawan malaysia), pembaca ada yang tahu ?.. J
Ketika itu teman-teman juga pada
“ngrembuk” pendakian, karena penasaran n sangat penasaran, akhirnya aku
memberanikan diri untuk “mendaftar”,
semula teman-teman ragu, “serius, kamu pengen ikut muncak, dingin lho”, Tanya
ali waktu itu.. “ok dong, siapa takut”, jawabku spontan..
Akhirnya kita beberapa kali
mengadakan “rakernas” untuk mempersiapkan acara pendakian ini..
Jum’at, 31 desember 2010
RELASI, logistic para Pendaki
Gunung..
Akhirnya waktu yang di tunggu
datang juga, karena peserta berasal dari dua daerah, Tengah (Sragen) dan Barat
(masaran), akhirnya kita berangkat secara berkelompok, kelompok tengah
berkumpul di rumah ali, kelompok barat berkumpul di rumah mas bayu di Masaran..
Di iringi cuaca pagi yang cerah,
akhirnya kami berangkat dari Sragen. Kami beriring-iringan mengendarai sepeda
motor kami masing-masing. Kami tidak langsung menuju selo, boyolali, tapi kami
menyiapkan segala kebutuhan logistic baik makanan, minuman dan keperluan lainya
terlebih dahulu di Solo, sebuah Minimarket yang terkenal murah menjadi tujuan
kami, RELASI, sebuah minimarket yang terletak di kartosuro, UMS ke barat.
Selo, Boyolali pukul 11 siang
Cuaca sedikit panas waktu kita
berangkat dari Solo, tapi setelah melewati lereng-lereng gunung Merapi dan
Merbabu yang sejuk, berkelok-kelok, curam, tapi sangat indah, akhirnya kami
tiba di Selo, sebuah kelurahan dari kabupaten Boyolali yang tepat berada di
antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, dari desa inilah jalur pendakian
gunung merapi dan Merbabu berada.
Setelah sampe di Selo, kami
bersiap-siap untuk menjalankan Sholat Jum’at, di sebuah masjid yang selanjutnya
akan menjadi tempat persinggahan kita ketika mendaki Gunung merapi maupun
Gunung Merbabu.
Selo, 13.00
Setelah menjalankan Sholat
Jum’at, plus jama’ taqdim Sholat Ashar, akhirnya kami bersiap-siap untuk
melakukan pendakian, “bro, luaperr nie”, cletuk Danang, aku sendiri terus
terang sejak pagi juga belum makan, setelah berdiskusi dan bermusyawarah,
akhirnya kami sepakat untuk “isi bensin” terlebih dahulu, sebuah warung nasi
yang berada di depan masjid, menjadi “tambatan” kami. J
Selo 14.30
Alhamdulillah, setelah “motoran” melewati
jalan yang sangat curam dan menanjak, akhirnya kami tiba di salah satu rumah penduduk,
yang paling tinggi, n yang terakhir, yang langsung berada di pinggir jalur
pendakian.
Kami parkirkan motor kami, kami
pun segera berganti “kostum” dan siap-siap melakukan pendakian.
Ketika berjalan baru lima menit,
ternyata awan gelap yang sejak tadi siang menggantung sudah tidak tahan menahan
uap-uap air yang telah di “kandungnya”, terpaksa kami pun kehujanan, mantel
demi mantel kami keluarkan, ada pula yang tidak peduli dengan derasnya hujan,
akhirnya dengan ditemani rintik-rintik hujan, hawa dingin gunung merbabu, dan
suasana hutan yang rimbun dan lembab perjalanan kami lalui.
Sabana satu, 18.30
Perjalanan kali ini terasa sangat
berat, apalagi aku yang memang baru pertama kali naik gunung, didukung kondisi
alam yang tidak bersahabat, lengkaplah perjalanan kami. L
Iklim pada bulan desember-januari
memang iklim yang tidak tepat untuk mendaki gunung, karena pada bulan-bulan ini
adalah musim penghujan, bahkan puncak curah hujan ada di bulan-bulan ini, dalam
perjalanan ini, selain hujan, badai juga tidak henti-hentinya menghempaskan
tubuh kami, hawa dingin yang di “bumbui” hujan, menjadikan tubuh kami menggigil
beku. Karena kencangnya badai, akhirnya kita sepakat untuk ng“dum” di sabana 1,
suatu padang rerumputan dan ilalang yang agak luas, selain kami ternyata sudah
banyak sekali kelompok-kelompok pendaki lainya yang bernasib sama dengan kami,
paling tidak mirip. J
Badai tidak henti-hentinya badai meniup
dan menerpa kami, bahkan ketika mendirikan dum alias tenda, kami sangat
kesulitan, kebetulan kami hanya membawa dua dum, akhirnya mau tidak mau kami
harus “desel-deselan”, “malah tambah anget”, ujar genjix yang berbadan gendut.
“aku tidur di luar aj”, Aan mengagetkan kami, maklum juga sieh “mbah adoh”, si
bolang satu ini mang sudah malang-melintang dalam dunia pergunungan, gunung
dari ujung timur sampe ujung barat sudah dia jamah, maklum dia adalah anggota
Tulen MALIMPA, mahasiswa pecinta alam UMS Surakarta.
Setelah menunaikan shalat magrib
dan isya’ yang kami jama’ ta’khir Qashar, kami menghidupkan kompor, mengisi
perut yang kosong, dan menghangatkan diri dengan secangkir kopi. Hangatnya kopi
dan sebatang rokok Djarum terasa nikmat malam itu, kebetulan dari Sembilan
orang ini Cuma aku yang merokok, jadi bisa agak santai, karena tigak khawatir
stok habis, he2.
Capeknya perjalanan sejenak
terlupakan, dinginya badai pun juga tidak terasa, meskipun yang lain sudah pada
memasuki “kandang”masing-masing. Aku, aan, dan bayu masih asyik menikmati malam
itu, bagiku, malam itu adalah malam yang sangat istimewa, aku serasa menyatu
dengan alam, badaipun serasa sapaan-sapaan dari alam yang ingin berkenalan
denganku, aku merasa sangat damai, tenang, tentram dan bahagia.
Setelah merasa cukup ngantuk akhirnya
aku memasuki “istana” gunungku, pikiranku terbang melayang, membawa rasa capai
ke angkasa dan membuangnya jauh di sana. :D
Sabana satu, 00.00
Malam itu, badai tidak kunjung
reda, dum kami terhempas ke kanan, ke kiri, ke belakang tidak karuan. Suara
letusan-letusan membangunkanku, dinginya malam semakin merasuk ke dalam
tubuhku, aq tersadar, baru sadar kalau malam ini adalah malam pergantian tahun,
besok adalah tahun baru, 1 januari 2011.
Aku juga heran, sekaligus faham,
di malam yang sedingin dan badai sedahsyat ini, para pendaki itu serasa tidak
peduli, mereka sangat menikmati untaian kembang api yang saling berganti,
sambung-menyambung. Aku yakin, meraka tidak akan melupakan mala mini, entah
dalam kebahagiaan, kehisterisan, ataukah kepedihan dan kepiluan.
Saking capeknya, aku pun nyenyak,
tertidur kembali.
Sabana satu, 05.00
Pagi itu, suasana masih berkabut,
sun rise yang di tunggu-tunggu pun tidak kunjung memperlihatkan diri, sperti
dugaan kami, cuaca pun belum bersahabat, kabut, mendung, badai masih
berseliweran di sekitar kami.
Dengan berat, kami membangunkan
tubuh kami yang lunglai, lemas, lapar, dan kepayahan. Shlat shubuh pun terasa
sangat berat, engan bertayamum pada tenda, Alhamdulillah, kami tunaikan
kewajiban kami ini dengan berjama’ah, penuh rasa syukur, dan penuh do’a semoa
Allah SWT selalu melindungi kami dan melancarkan perjalanan kami.
Selesai sholat, kami
berjalan-jalan berkeliling sabana, tanpa aku sadari (karena memang baru pendaki pemula) ternyata
gunung merapi dengan penuh kegagahan berada di depan kami, meskipun saat itu
masih kabut dan badai, sehingga pemandangan kurang begitu bagus, tapi bagiku
pemandangan itu sangatlah berkesan dan istimewa bagiku.
Sesampainya di tempat kami
ngecamp, ternyata teman-teman telas asyik memasak nasi dan mie goreng, baunya
sungguh menggugah selera, di tambah perut yang sudah keroncongan, wuihhh,
mantabb nie. Sambil menunggu nasi masak, kita bercanda kemari di temani roti,
camilan, kopi, dan bagiku tentu saja rokok, benar-benar pagi yang indah, dan
penuh kebersamaan.
“Walahhh, ngletiss”, teriak
genjix alias ruddy, ingat dobel “D”, kalu salah tulis tidak segan-segan dia
akan “menyembur”mu. He2. Ngletis adalah bahasa jawa untuk nasi yang belum
matang, masih agak keras dan sangat tidak nyaman di perut. Stelah sekian lama
menanti dengan penuh nafsu, ternyata kami tidak mampu menghabiskan nasi dan mie
goreng tersebut, sama persis, plek dengan hukum ekonomi, “semakin lama kita
menikmati suatu barang/perkara, maka kenikmatanya akan terus menurun”, missal
kita berlari jauh, kita haus sekali, sesampainya di rumah, kita minum es teh,
pada awal-awal minum es teh, kita merasa sangat nikmat sekali, tetapi setelah
habis segelas, dua gelas, es teh tersebut tidak akan terasa nikmat sama sekali.
Sabana satu, 08.00
Belum redanya kabut dan badai
membuat kami galau, gundah, dan gelisah (he2, lebay ya..). beberapa teman
bahkan ragu untuk meneruskan pendakian ini, akhirnya kami berkumpul,
bermusyawarah dan berembuk, ada sekelompok teman yang menghendaki pendakian
dicukupkan sampai di sini, ada juga yang berharap pendakian tetap dilanjutkan,
salah satunya adalah aku. Aku berargumen, pendakian harus dilanjutkan karena,
pertama, hari masih pagi, kedua, sangat mungkin sekali cuaca akan berubah
menjadi cerah pada siang nanti, ketiga, banyak pendaki lain yang tetap
melanjutkan pendakian, keempat, logistic masih sangat mencukupi seumpama kita
harus bermalam sekali lagi, dan kelima (dan ini merupakan pribadiku saja) aku
baru pertama kali mendaki, (masak pertama kali dan harus gagal, he2).
Alhamdulillah, akhirnya teman-teman sepakat melanjutkan pendakian dengan
berbagai catatan, kayak anggota DPR saja pikirku, he2. Catatn pertama, jika cuaca
tidak berubah sampai jam 12.00 siang nanti, kita harus turun, kedua, jika
sampai jam 12.00 belum sampai puncak, dan cuaca masih tidak berubah, kita juga
harus turun.
Sabana satu 08.30
Tepat jam 08.30an, setelah
berkemas dan packing, akhirnya kami melanjutkan perjalanan panjang. Bahkan kata
Aan, perjalanan masih lebih dari separuh,maklum dia sudah tidak terhitung
berapa kali mendaki gunung merbabu, sehingga dia sangat hafal sekali rute,
waktu tempuh, jarak, dan medan. Stelah melewati tanjakan yang curam dan licin,
tibalah kami pada sabana dua, suatu padang rumput yang luas dan indah, kami
sangat menikmati pemandangan yang ada. Allah SWT mengabulkan do’a kami, cuaca
berangsur cerah, bahkan sesekali panas dan angin kencang. Di kanan kiri
pemandangan pohon-pohon edelweiss begitu menawan, sangat rimbun sekali, berbeda
dengan gunung-gunung yang lainya yang sangat jarang, tidak sebanyak di gunung
merbabu. Di belakang kami, gunung merapi seakan melambaikan tanganya sebagai
salam perpisahan. Sesekali kami beristirahat, untuk sekedar minum, ngemil atau
tiduran saja.
Pada perjalanan ini, kami agak
berjauhan antara satu dengan yang lainya, selain intuk mempercepat perjalanan,
ini juga di karenakan perbedaan stamina dan kondisi fisik kami. Danang, ali,
yus, bahkan sudah jauh di depan, aku yang bertenaga pas-pasan lebih memilih
sebagai kaum netral, tidak terlalu cepat, tapi juga tidak tertinggal, ada juga
yang menjadi kaum terbelakang, salah satunya genjix, menurutku selain faktor
berat badan yang seperti kambing bunting
tiga, juga faktor lainya, seperti, pengait sandal yang putus yang membuat dia
harus “cakaran”, juga faktor celana jeans merk tidak jelas yang semakin terasa
ketat di kaki, paha, dan pantatnya, sehingga peredaran darah terganggu dan
membuat kaki sulit di ajak kompromi untuk berjalan.
Tragedi sandal ELGER
Di antara rombongan pendaki kami kali ini,
genjix memang menjadi sosok “public figure”, sorotan, sasaran, juga hiburan.
Papaun yang dia katakana, atau ulah apapun yang dia lakukan, akan membuat kami
terbahak-bahak,salah satunya adalah sandal baru yang dia beli di malioboro
Yogyakarta. Sejak sandalnya “jebat”, dan dia harus jalan kaki “nyakar”, teman
selalu mengeles dan “menggojloki”nya. “makanya njix, beli sandal gunung tuh
yang EIGER, jangan yang ELGER” cletuk danang dengan penuh kepuasan. Perlu
pembaca ketahui, EIGER merupakan suatu merk sandal, sepatu, tas atau
perlengkapan petualangan lainya yang terkenal awet, kuat, dan tahan lama, dan hanya
memiliki satu kelemahan, yaitu tidak anti maling,J. Saking terkenal bagusnya, merk ini sering sekali
dibajak, ditiru atau dipalsukan, di antar merk yang sering terdengar yaitu ada
ELGER, EAGER, EGER dan lain sebagainya.
Setelah agak lama “nyakar” dan
penuh kepayahan, mulai terlihat tanda-tanda keputus asaan di wajah genjix.
akhirnya dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan mawas diri, dia menyatakan
“cukup sampai di sini”, dia sudah tidak kuat melanjutkan perjalanan kembali,
aku dan beberapa teman meyakinkan bahwa puncak sudah sangat dekat, tinggal
beberapa menit lagi sampai, tapi dengan penuh keteguhan hati genjix tetap ingin
bertahan di sini saja. Ketika itu, kita sudah sampai di sabana bawah puncak,
ada sebelah batu kenteng, lesung di sebelah kanan kami, tidak terlalu jauh.
Kami dan teman-teman bermusyawarah,
apa yang mesti kami selanjutnya demi kelangsungan dan kesuksesan pendakian ini.
Akhrinya kami sepakat untuk mempercepat sampai puncak, yaitu dengan membawa
minum secukupnya dan meninggalkan keril, tas, dan barang-barang lainya bersama
genjix. Dan dengan penuh kesadaran, si genjix membuka keril, kompor, dan mie,
dia akan memasak. Alhamdulillah, berarti setelah turun dari puncak, bias
langsung “isi bensin” ntar. J
Puncak Syarif, 1 januari 2011,
12.00 AM
Perjalanan yang benar-benar
menguras tenaga kami, jalan yang nger”track”, hari yang semakin siang dan
panas, membuat kami “kempis-kempis” menuju puncak.
Alhamdulillah, tepat jam 12.00
siang, kami berhasil menginjakan kaki ke puncak Syarif, salah satu puncak
gunung merbabu, selain puncak kenteng songo. Sebenarnya jarak puncak syarif dan
puncak kenteng songo cukup dekat, paling sekitar 10 menit perjalanan. Tapi
dengan berbagai pertimbangan, kami sudah cukup puas menginjakan kaki di puncak
syarif saja.
Setelah sekitar 30 menit di puncak untuk berfoto-foto ria dan makan, minum, dan istirahat secukupnya, kami memutuskan untuk turun, kasian juga si genjix jika harus menunggu lama-lama.
Dengan penuh kepuasan,
kebanggaan, dan kebahagiaan yang tiada tara, kami menyusuri jalan-jalan
menurun, saking semangatnya, mas yus, ali, dan dannang turun berlarian.
Benar-benar tidak sebanding, untuknaik ke puncak dari tempat genjix, kami
memutuhkan waktu sampai satu jam, tapi untuk turun, kami hanya butuh waktu
tidak kurang dari lima belas menit. Hmmm..
Sesampainya di tempat genjix,
kami pun makan, minum, dan istirahat sepuasnya, seakan perjalanan sangat mudah
dan menyenangkan, kami melupakan setiap penderitaan dan jerih payah sebelumnya.
Dengan penuh kegagahan, sekitar pukul 13.30 akhirnya kita meneruskan perjalanan
untuk pulang. Dengan harapan Semoga sebelum magrib kami sudah tiba di tempat
penitipan motor kami. Amiin
Selo, 17.30
Akhirnya tepat beberapa menit
sebelum magrib, kami tiba di depan tempat penitipan motor kami dengan beribu
perasaaan yang tidak bias di ungkapkan, antara bersyukur kepadaNYA, capek,
bahagia, bangga, dan perjalanan yang membuat kami hamper putus asa.
Setelah makan, minum, dan
bersantai sepuasnya, lalu kami ke masjid yang tidak jauh dari warung kami, kami
sholat dan membersihkan diri.
Dengan penuh bahagia, sekitar
pukul 20.30 kami akhirnya menyusuri jalan pegunungan yang berlenggak-lenggok,
aku kembali ke jogja, teman-teman langsung menuju Sragen, ke rumah
masing-masing.
Alhamdulillah, terimaksih ya
Robb,engkau telah memudahkan perjalanan kami kali ini, semoga perjalanan ini
menjadi awal petualangan-petualangan kami selanjutnya, dan semoga engkau juga
memudahkanya. Amiin
Jogja, 25 januari
2012
(sudah satu tahun,
tapi baru sempat menulis kisah pendakian ini sekarang, J )
No comments:
Post a Comment